Selasa, 22 Juli 2014

Sunda Masih Tetap Jaya!

 Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan nasional. Maka dari itu, segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai, karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah, juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa.
Ada banyak sekali suku bangsa di Indonesia yang sangat terkenal, salah satunya adalah Sunda  Sunda yang berasal dari bagian barat Pulau Jawa. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Kebudayaannya pun masih ada yang dilestarikan hingga kini, meski beberapa hasil budaya terancam kepunahan ditengah era globalisasi. Namun, ada beberapa tokoh pada saat ini yang terus berusaha melestarikan kebudayaan Sunda tersebut.

Di tengah kondisi tradisi lokal yang mulai tergeser oleh moderenisasi, seorang musisi metalhead muncul menjadi salah satu pionir yang melestarikan budaya sunda dengan memakai iket kepala khas priangan. Sosok tersebut dikenal di kalangan anak metal dengan nama Man Jasad.
Sekitar tahun 2005, vokalis band Jasad ini mulai memakai iket dan baju pangsi saat ia tampil bersama band-nya. Dengan gaya berpakaian seperti itu, tak mudah bagi Man. Ia mengaku kerap diejek oleh teman-temannya.
Namun seiring berjalannya waktu, ejekan tersebut terkikis sedikit demi sedikit bahkan menjadi bagian dari identitas anak metal. Saat ini setiap pertunjukan band-band metal, mayoritas menggunakan iket kepala, baik para pemain band-nya maupun penonton.
Tujuan Man memakai gaya pakaian tradisional sunda bukan hanya sekadar tampil beda. Dibalik selera musikya yang garang, Man mencoba ikut andil dalam pelestarian budaya sunda yang kini sudah semakin pudar di kalangan anak muda.
Lalu, ada satu lagi seorang tokoh yang sudah terbilang paruh baya, yaitu Endang Sugriwa alias Abah Olot. Ia rmeyakini, alat musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan suatu suku atau bangsa harus dilestarikan. Ini demi kebertahanan identitas masyarakat suku atau bangsa tersebut.
Abah Olot merasa berkewajiban mencegah kepunahan karinding. Sejak dari kakek buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding diwariskan dalam keluarga. Ia lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai perajin mebel kayu dan bambu di Cipacing, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia kembali untuk menekuni warisan keluarga.

Di rumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin membuat karinding dan alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah tersimpan seperangkat instrumen, berupa celempung (sejenis kecapi), toleat (seperti seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu digunakan grup musik tradisional Giri Kerenceng pimpinan Abah Olot.


Semua alat musik tradisional itu hampir punah. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya, hanya sedikit warga yang bisa membuat karinding.

Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang 10-20 sentimeter. Namun dalam perkembangannya, pelepah aren semakin langka karena banyak warga yang menebangi pohon aren. Alasan mereka, pohon itu tidak lagi berbuah. Maka dari itu, pelepah aren pun terbuang, tidak sempat tua dan mengering. Bambu lalu menjadi bahan utama karinding. Syaratnya, umur bambu minimal dua tahun. Bambu dipotong, dihaluskan, dan dibagi menjadi tiga ruas.

Ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Agar bisa menimbulkan suara, ruas tengah karinding diletakkan di mulut, diapit bibir atas dan bawah.

Sekilas bunyi karinding serupa lengkingan serangga di sawah. Bunyi itu berasal dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan. Untuk mengatur tinggi-rendah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan ketukan jari. Alat semacam itu juga ada di Bali, disebut genggong. Namun, cara memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang.

Abah Olot bercerita, karinding mulai jarang dimainkan selepas tahun 1970-an. Maraknya alat musik modern memengaruhi selera musik masyarakat sampai ke kampung. Karinding, yang dahulu sering dimainkan pada acara pernikahan atau sunatan, mulai menghilang.
Tahun 1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan masyarakat Sunda. Karinding dimainkan untuk menghibur petani seusai memanen padi atau saat menjemur hasil panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai wujud sukacita atas hasil panen.

Minimnya publikasi tentang karinding menjadi salah satu faktor redupnya alat musik tradisional itu. Karinding hanya lestari dalam sejumlah kecil keluarga, termasuk keluarga Abah Olot.
Sejak usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan membuat karinding dari ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat beranjak dewasa. Abah Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum meneruskan warisan keahlian keluarga.

Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi karinding dianggap tak sesuai dengan perkembangan musik. Saat awal membuat karinding, Abah Olot memberikan cuma-cuma kepada siapa pun yang mau menerima.

Ajakannya kepada pemuda di kampung untuk memainkan karinding ditolak. Namun, Abah Olot terus mempromosikan karinding ke berbagai daerah. Tahun 2008, pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia bertemu komunitas kreatif kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms.

Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding Attack beranggota delapan orang. Personel Karinding Attack bukan seniman tradisional Sunda. Mereka berasal dari komunitas musik underground dan death metal yang sering dianggap ”budak baong” (anak nakal). Abah Olot justru mengajari mereka memainkan karinding.

Hasilnya, pada berbagai pertunjukan musik cadas dan punk, seperti Bandung Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut tampil. Bermula dari komunitas death metal, karinding mulai populer di kalangan kaum muda. Banyak di antara mereka lalu tertarik dan ingin belajar memainkan karinding.

Alat musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah itu kembali mewabah. Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik karinding. Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu modern.
Di balik semaraknya kembali karinding, ada Abah Olot yang tetap setia di ”bengkelnya”. Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan menjaga identitas masyarakat Sunda.



Mereka menggunakan cara mereka sendiri untuk melestarikan kebudayaan. Meskipun cara mereka sempat dianggap kurang tepat, yaitu memperkenalkan kebudayaan Sunda kepada komunitas Bawah Tanah (Underground) Bandung. Tetapi, cara mereka terbilang cukup berhasil agar kebudayaan Sunda itu tidak akan termakan oleh derasnya arus modernisasi.
Saat ini, banyak sekali pemuda kota Bandung bahkan Jawa Barat yang menggunakan iket dan pangsi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dan juga banyak sekali dari mereka yang mempunyai antusiasme yang sangat tinggi untuk belajar alat-alat musik tradisional, seperti karinding, celempung, toleat, dan sebagainya.

Hingga saat ini, Sunda masih tetap jaya!

-Agung Gumelar-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar