Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai
macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut
kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu
bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya.
Tidak
bisa kita pungkiri, bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya
kebudayaan nasional. Maka dari itu, segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat
berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan
nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula
terhadap kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatau
kekayaan yang sangat benilai, karena selain merupakan ciri khas dari suatu
daerah, juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Karena
kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga,
memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu,
dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan
dilestarikan oleh setiap suku bangsa.
Ada
banyak sekali suku bangsa di Indonesia yang sangat terkenal, salah satunya
adalah Sunda Sunda yang berasal dari
bagian barat Pulau Jawa. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia.
Kebudayaannya pun masih ada yang dilestarikan hingga kini, meski beberapa hasil
budaya terancam kepunahan ditengah era globalisasi. Namun, ada beberapa tokoh pada
saat ini yang terus berusaha melestarikan kebudayaan Sunda tersebut.
Di tengah kondisi tradisi lokal yang mulai tergeser oleh
moderenisasi, seorang musisi metalhead muncul menjadi salah satu pionir yang
melestarikan budaya sunda dengan memakai iket kepala khas priangan. Sosok
tersebut dikenal di kalangan anak metal dengan nama Man Jasad.
Sekitar tahun 2005, vokalis band Jasad ini mulai memakai iket
dan baju pangsi saat ia tampil bersama band-nya. Dengan gaya berpakaian seperti
itu, tak mudah bagi Man. Ia mengaku kerap diejek oleh teman-temannya.
Namun seiring berjalannya waktu, ejekan tersebut terkikis
sedikit demi sedikit bahkan menjadi bagian dari identitas anak metal. Saat ini
setiap pertunjukan band-band metal, mayoritas menggunakan iket kepala, baik
para pemain band-nya maupun penonton.
Tujuan Man memakai gaya pakaian tradisional sunda bukan hanya
sekadar tampil beda. Dibalik selera musikya yang garang, Man mencoba ikut andil
dalam pelestarian budaya sunda yang kini sudah semakin pudar di kalangan anak
muda.
Lalu, ada satu lagi seorang tokoh yang sudah terbilang paruh
baya, yaitu Endang Sugriwa alias Abah Olot. Ia rmeyakini, alat musik
tradisional sebagai bagian dari kebudayaan suatu suku atau bangsa harus
dilestarikan. Ini demi kebertahanan identitas masyarakat suku atau bangsa
tersebut.
Abah Olot merasa berkewajiban mencegah kepunahan karinding.
Sejak dari kakek buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding diwariskan
dalam keluarga. Ia lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai perajin mebel kayu
dan bambu di Cipacing, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia kembali untuk menekuni
warisan keluarga.
Di rumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin membuat
karinding dan alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah
tersimpan seperangkat instrumen, berupa celempung (sejenis kecapi), toleat (seperti
seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu digunakan
grup musik tradisional Giri Kerenceng pimpinan Abah Olot.
Semua alat musik tradisional itu hampir punah. Namun, yang
menjadi perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya, hanya sedikit warga
yang bisa membuat karinding.
Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang
10-20 sentimeter. Namun dalam perkembangannya, pelepah aren semakin langka
karena banyak warga yang menebangi pohon aren. Alasan mereka, pohon itu tidak
lagi berbuah. Maka dari itu, pelepah aren pun terbuang, tidak sempat tua dan
mengering. Bambu lalu menjadi bahan utama karinding. Syaratnya, umur bambu minimal
dua tahun. Bambu dipotong, dihaluskan, dan dibagi menjadi tiga ruas.
Ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan
menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang
dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Agar bisa
menimbulkan suara, ruas tengah karinding diletakkan di mulut, diapit bibir atas
dan bawah.
Sekilas bunyi karinding serupa lengkingan serangga di sawah.
Bunyi itu berasal dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan. Untuk
mengatur tinggi-rendah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan ketukan
jari. Alat semacam itu juga ada di Bali, disebut genggong. Namun, cara
memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang.
Abah Olot bercerita, karinding mulai jarang dimainkan
selepas tahun 1970-an. Maraknya alat musik modern memengaruhi selera musik
masyarakat sampai ke kampung. Karinding, yang dahulu sering dimainkan pada
acara pernikahan atau sunatan, mulai menghilang.
Tahun
1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan masyarakat Sunda. Karinding
dimainkan untuk menghibur petani seusai memanen padi atau saat menjemur hasil
panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai wujud sukacita atas hasil
panen.
Minimnya publikasi tentang karinding menjadi salah satu
faktor redupnya alat musik tradisional itu. Karinding hanya lestari dalam
sejumlah kecil keluarga, termasuk keluarga Abah Olot.
Sejak usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan membuat
karinding dari ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat beranjak
dewasa. Abah Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum meneruskan
warisan keahlian keluarga.
Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi karinding
dianggap tak sesuai dengan perkembangan musik. Saat awal membuat karinding,
Abah Olot memberikan cuma-cuma kepada siapa pun yang mau menerima.
Ajakannya kepada pemuda di kampung untuk memainkan karinding
ditolak. Namun, Abah Olot terus mempromosikan karinding ke berbagai daerah.
Tahun 2008, pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia bertemu komunitas
kreatif kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms.
Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding
Attack beranggota delapan orang. Personel Karinding Attack bukan seniman
tradisional Sunda. Mereka berasal dari komunitas musik underground dan death
metal yang sering dianggap ”budak baong” (anak nakal). Abah Olot justru
mengajari mereka memainkan karinding.
Hasilnya, pada berbagai pertunjukan musik cadas dan punk,
seperti Bandung Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut tampil.
Bermula dari komunitas death metal, karinding mulai populer di kalangan kaum
muda. Banyak di antara mereka lalu tertarik dan ingin belajar memainkan
karinding.
Alat musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah itu
kembali mewabah. Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik
karinding. Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu
modern.
Di
balik semaraknya kembali karinding, ada Abah Olot yang tetap setia di
”bengkelnya”. Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan menjaga identitas masyarakat
Sunda.
Mereka menggunakan cara
mereka sendiri untuk melestarikan kebudayaan. Meskipun cara mereka sempat
dianggap kurang tepat, yaitu memperkenalkan kebudayaan Sunda kepada komunitas
Bawah Tanah (Underground) Bandung. Tetapi, cara mereka terbilang cukup berhasil
agar kebudayaan Sunda itu tidak akan termakan oleh derasnya arus modernisasi.
Saat ini, banyak sekali
pemuda kota Bandung bahkan Jawa Barat yang menggunakan iket dan pangsi dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Dan juga banyak sekali dari mereka yang mempunyai
antusiasme yang sangat tinggi untuk belajar alat-alat musik tradisional,
seperti karinding, celempung, toleat, dan sebagainya.
Hingga saat ini, Sunda
masih tetap jaya!
-Agung Gumelar-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar