I Nyoman Rembang adalah
seorang yang tidak hanya ahli dalam praktek gamelan Bali terutama pada gamelan
bambu, beliau juga dikenal sebagai seorang guru dan cendikiawan dalam
penelitian gamelan Bali. Selain itu I Nyoman Rembang juga sempat menjadi
pengajar di Summer School Berkeley California USA selama 5 bulan pada tahun
1974. I Nyoman Rembang meninggal dunia pada hari senin 30 Agustus 2001 sekitar
pukul 19.00 di kediamannya di Denpasar pada usia ke 71 tahun.
Tempat dan tanggal lahir
Lahir di Desa Sesetan Tengah,
Kecamatan Denpasar Selatan, pada tanggal 15 Desember 1930, Rembang akhirnya
menikah dengan gadis Rabinstiti pada tahun 1957. Dari perkawinannya dengan Ni
Ketut Rabinstiti ini lahir lima anak, masing-masing: Ni Luh Putu Diah Purnamawati
(1958), I Made Mercumahadi (1962), Ni Nyoman Ernadewi (1965), Ni Ketut Tilem
Santilatri (1968), dan I Gede Putra Widyutmala (1971).
Masa kecil
Lahir dan besar di masa
penjajahan mengakibatkan I Nyoman Rembang hanya sempat mengenyam pendidikan
Sekolah Rakyat lima tahun (1937-1942). Tapi baginya semua itu tidak pernah
merupakan halangan untuk menjadikan dirinya seorang yang memiliki arti dalam
masyarakat. Maka, ketika usianya mulai menginjak tujuh tahun ia sudah berguru
kepada dua orang penabuh gender wayang kawakan yang ada di desanya, yakni I
Wayan Jiwa dan I Wayan Naba. Kecintaannya pada seni, khususnya seni tabuh,
rupanya melekat demikian dalam di hatinya. Rasa cinta itu terasa semakin
menggebu-gebu ketika ia mendengar di sekitar desanya ada tokoh-tokoh karawitan
yang sedang top dan populer di masyarakat. Maka bocah Nyoman Rembang yang waktu
itu berumur delapan tahun pun mulai melangkahkan kakinya ke luar desanya untuk
belajar menabuh Palegongan. Ia pun kemudian berguru kepada Bagus Putu di Desa Kepaon,
I Nyoman Nyebleg dan I Wayan Kale dari Desa Geladag, I Wayan Regog di Banjar
Belaluan, I Wayan Lotering di Kuta, I Nyoman Kaler di Desa Pagan, I Gusti Putu
Made Geria di Desa Buagan, bahkan sampai ke Desa Tohpati. Di Tohpati ia berguru
kepada I Ketut Gelebig,ketika usianya baru menginjak sepuluh tahun (tahun
1940), ia mulai menekuni tabuh Pegambuhan sebagai pengiring Tari Gambuh yang
kini diyakini sebagai dasar tari Bali. Tabuh ini ia pelajari pada guru-guru
yang ada di sekitar desanya, antara lain Wayan Sianta (Desa Sesetan), Made
Ceteg (Desa Sesetan), I Ketut Mertu (Pedungan), dan I Made Lemping (Pedungan).
Pengalaman
Kemampuan I Nyoman Rembang
menyerap banyak tabuh Pegambuhan ini, ternyata kemudian membawa banyak hikmah
bagi generasi penerusnya. Sebab, ternyata pula, tari Gambuh sebagai dasar tari
Bali merupakan bentuk kesenian yang nyaris punah di jagat dewata ini. Sehingga,
ketika Majelis Pertimbangan Kebudayaan (Listibya) Bali mengadakan seminar dan
workshop mengenai tari Gambuh, maka tak ayal lagi I Nyoman Rembang yang
menginjak usia remaja (15 tahun) masih sempat pula belajar angklung kebyar
kepada I Nyoman Kaler di Desa Pagan dan I Ketut Gelebig di Desa Tohpati. Bahkan
ketika kelima anaknya sudah lahir ia masih pula menyempatkan diri untuk belajar
tabuh Gambang (tahun 1972) pada I Made Adi di Desa Sempidi.
Tahun 1952 ia menjadi guru
tetap dalam bidang seni tabuh Bali pada Konservatori Karawitan Indonesia
(Kokar) di Surakarta. Maka mulailah ia menjadikan profesi guru secara formal
bagi kehidupan dirinya. Ketika kehadiran Kokar di Bali, ia pun pindah tugas
sebagai guru di Kokar (sekarang SMKI) di Denpasar Bali ( tahun 1963). Tahun
1967, ketika ASTI (Akademi Seni Tari) Bali yang ikut dibidani pendiriannya
mulai mengembangkan diri, I Nyoman Rembang tidak absen menyumbangkan
keahliannya sebagai dosen tamu di Akademi tersebut. Tahun 1974, I Nyoman
Rembang mendapat kehormatan di undang selama lima bulan untuk memberikan
pelajaran tabuh Bali pada Summer School di Berkeley, California Amerika
Serikat. I Nyoman Rembang ikut mendirikan Panti Kesenian Bali di Denpasar
(1948). Tahun itu pula ia ikut memperkuat misi kesenian Bali yang melakukan
kunjungan muhibah ke Surabaya. Tahun 1950 ia memperkuat misi kesenian Bali yang
melakukan pagelaran di Istana Negara di Jakarta. Tahun 1951 ia melangkah ke
luar negeri mengikuti misi kesenian Indonesia ke Colombo (Srilangka) dan
Singapura. Tahun 1965 ia turut dalam pembentukan Lembaga Kebudayaan Nasional di
Denpasar.
Tak berhenti sampai di sana.
Tahun 1959 ia mengikuti rombongan kesenian Indonesia (Bhineka Tunggal Ika) ke
Singapura. Tahun 1960 ia ikut dalam kepanitiaan pendirian Sekolah Kokar Bali di
Denpasar. Dan ketika Listibya Bali memulai kehadiran dan aktivitasnya di
masyarakat, I Nyoman Rembang juga banyak terlibat antara lain dalam pembinaan
seni tari dan tabuh, juri berbagai kegiatan festival tari dan tabuh, serta
seminar-seminar.
Tahun 1971 bersama guru-guru
Kokar Bali ia mengadakan survey gamelan selonding di Desa Tenganan, Karangasem.
Tahun 1972, ia mengikuti survey gambelan tradisional daerah Lombok bersama
Dr.T.Sebas dari Swis dan Mr.Scharman dari Belanda. Pada tahun 1973 ia ikut
menulis naskah-naskah mengenai karawitan Bali. Beberapa di antaranya sudah
diterbitkan, seperti Panithitalaning Pegambuhan, Legong Keraton, Wayang Wong,
Topeng, dan lain-lain.
Di samping itu, mulai tahun
1974 ia berpraktek melaras gambelan dari kerawang dan membuat gambelan-gambelan
dari bambu terutama gambelan joged bumbung. Yang paling monumental tentu saja
ia tercatat sebagai penemu musik bumbang yang terbuat dari bilah-bilah bambu.
Ia menciptakan alat dan komposisi musik bumbang ini setelah terinspirasi oleh
ikan-ikan yang berenang di sebuah akuarium berair bening.
Dan, sehari-hari I Nyoman
Rembang memang tak ubahnya anak-anak ikan yang tiada lelah bernapas dan berenang
di dalam air, dengan berenang dan bernapas itulah ia hidup. Dengan belajar dan
terus belajar mengasah ketajaman intuisi kreatifnya itulah I Nyoman Rembang
yang di hari-hari senjanya sibuk melakukan penyelamatan musik Gambang ini bisa
menjadikan dirinya sebagai salah seorang mpu tabuh Bali. Dengan begitu pula dia
bisa tetap mempertahankan hidupnya yang sederhana meskipun berpredikat sebagai
seniman besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar